KASANGGAL NIRIGI
TUJUAN PEMELAJARAN UMUM
Pada akhir proses pemelajaran melalui modul “Budaya,
Etika, dan Kultur Universitas”, para peserta (mahasiswa baru Universitas
Hasanuddin 2010) sudah akan dapat:
|
OUTLINE MATERI MODUL BUDAYA, ETIKA, DAN KULTUR UNIVERSITAS
No.
|
Topik
|
Rujukan
Teks Pengantar
|
Kegiatan
|
Evaluasi
Tindak Lanjut
|
Durasi
|
1.
|
Budaya
|
1.
Pembudayaan Pendidikan
2.
Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi
|
Ceramah dan Diskusi/Tanya-jawab
|
Kerja Mandiri
|
30 menit
|
2.
|
Etika
|
1.
Etika
2.
Persaudaraan dan Pengasuhan, Etika Milenium Baru
|
Ceramah dan Diskusi/Tanya-jawab
|
Kerja Mandiri
|
30 menit
|
3.
|
Kultur Universitas
|
1.
The “Bossless Society”
2.
Kultur Akademik, Bersahabat dalam Perbedaan
|
Ceramah dan Diskusi/Tanya-jawab
|
Kerja Mandiri
|
30 menit
|
TOPIK: Budaya, Etika, dan Kultur Universitas
PERTEMUAN: I
TUJUAN
PEMELAJARAN UMUM:
Budaya:
(1) mendeskripsikan julukan
manusia sebagai animal educandum dan animal educandus
(2) membedakan dampak didik
penyekolahan, pendidikan, dan pemelajaran sosial
(3) mengenali empat tema
kunci --- delokasi dan lokasi, invasi teknologi, kebangkitan korporasi
multinasional, privatisasi dan pembentukan pasar bebas --- dalam wacana dan
pengalaman globalisasi;
(4) mengurai contoh-contoh
gejala dan interaksi antara elemen lokal dengan elemen global dalam dinamika
pendidikan.
Etika:
(1)
menyadari fungsi etika bagi upaya membangun kultur pemelajaran
di universitas;
(2)
menyadari munculnya keperluan akan etika milenium baru
sebagai wacana akademik mutakhir akibat globalisasi;
Kultur Universitas:
(1)
mengenali semangat dan ciri-ciri kultur komunitas
universitas;
(2)
mengenali prinsip-prinsip dasar etika yang memandu
interaksi keilmuan
EVALUASI TINDAK LANJUT:
Peserta diminta memilih satu topik
di bawah ini dan menuliskannya ke makalah sederhana (2-3 halaman) secara
mandiri:
(1)
Mengapa manusia mendapat julukan animal educandum
dan animal educandus
(2)
Perbedaan dampak didik sebagai hasil penyekolahan,
pendidikan, dan pemelajaran sosial
(3)
Interaksi elemen lokalitas budaya Sulawesi Selatan dan
budaya globalisasi
(4)
Mengapa etika penting di Universitas
(5)
Apa ciri-ciri kultur universitas
TEKS PENGANTAR 1
PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN
Disari ulang dari Tulisan Fuad Hasan,
2004
Pendidikan jelas lebih luas
dari penyekolahan. Pendidikan melekat pada kebutuhan manusia. Selain sebagai animal
educandum, yaitu makhluk yang dididik, manusia sekaligus adalah
animal educandus, yaitu makhluk yang mendidik. Kedua julukan
ini sama artinya bahwa manusia adalah makhluk yang terlibat dalam proses
pendidikan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Kedua julukan
inilah yang dijadikan rujukan oleh Organisasi Pendidikan Dunia (Unesco) untuk
mencanangkan konsep “pendidikan sepanjang hayat” (life long education),
yang seharusnya berlangsung dari buaian ke liang lahat (from the cradle to
the grave).
Penyekolahan
hanya salah satu bentuk upaya pendidikan. Penyelenggaraannya
tidak terbebas dari pengaruh luar. Pembiasaan dan peneladanan, baik yang
dibentuk oleh orang tuanya maupun orang lain, yang dimulai dari masa
prasekolah, akan memantapkan pola perilaku ketika sang anak telah dewasa dalam berbagai situasi dan interaksi. Peneladanan di akademi militer misalnya akan berbeda dengan peneladanan di lingkungan pesantren.
Peneladanan
tidak selalu melalui institusi pendidikan. Peneladanan seringkali berlangsung
melalui pemelajaran sosial (social
learning). Peneladanan positif di lingkungan universitas dan akademi,
dalam kenyataannya, tidak selalu
berhubungan secara simetris dengan pemelajaran sosial. Perilaku menyimpang yang diberitakan lewat media, misalnya, akan menjadi “pemelajaran sosial” bagi anak-anak. Kesaksian anak-anak
terhadap kekerasan di wilayah-wilayah konflik juga akan membekas pada perilaku dan sikap mereka. Lalu, kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Permainan dan mainan anak-anak di wilayah-wilayah
seperti ini cenderung bermatra kekerasan. Anak-anak berkecenderungan
mengunggulkan nilai-nilai untuk “menang”.
Kekuatan, kekuasaan dan keberanian dipakai oleh anak-anak untuk memunculkan
rasa takut pada lawan (fear provoking). Kecenderungan ini ditemukan di
berbagai wilayah konflik, antara lain: di wilayah Balkan, di beberapa negara
Afrika, dan di beberapa daerah di Indonesia. Peneladanan seperti ini dianggap
sebagai peneladanan negatif.
Dampak
didik pemelajaran sosial, tentu saja, tidak selalu berfungsi negatif. Fungsi
positif pemelajaran sosial juga dikenali di berbagai ranah pemelajaran. Anak
didik dan juga pendidik dapat mengenali model peran dan sosok tokoh yang sering dirujuk untuk keperluan identifikasi diri. Pengaruh
tokoh seringkali dijadikan citra untuk pembentukan
kepribadian, bukan hanya pada perilaku dan sikap, tetapi juga pada gagasan
dan wawasan. Pengaruh ini tidak selalu dalam bentuk in concreto (dalam bentuk konkret), tetapi lambat laun menjulang
dalam bentuk in abstracto
(dalam bentuk abstrak). Dampak didik positif menjadikan mahasiswa mampu melampaui
keterikatan pada guru besarnya sebagai tokoh identifikasi. Mahasiswa mampu menciptakan
peluang untuk
mengukuhkan dirinya sebagai homo academicus (makhluk akademis).
Animal
educandum dan animal educandus mengandung ikhtiar pembudayaan, yaitu upaya yang melatari sejarah kemanusiaan sebagai
sejarah peradaban. Prakarsa pendidikan tidak hanya mengalihkan pengetahuan dan
keterampilan (transfer of knowledge and skills), tetapi juga mengalihkan nilai-nilai budaya
dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms).
Masyarakat di mana pun pasti berkepentingan memelihara
keterjalinan antara ikhtiar pendidikan dan prakarsa pengembangan kebudayaannya.
Tugas pendidikan secara
luas adalah mengalihkan seluruh spektrum kebudayaan --- sistem kepercayaan,
bahasa, seni, sejarah, dan ilmu --- dari satu generasi ke generasi lain.
Orientasi pada nilai-nilai budaya akan mengukuhkan manusia sebagai anggota
masyarakat dengan peradabannya yang khas. Meskipun demikian, proses sejarah
telah mengenali jatuh bangunnya peradaban. Peneguhan nilai budaya dan norma
sosial melalui perkenalan dan pengenalan atas sumber-sumber belajar yang
dewasa ini digolongkan ke dalam ilmu-ilmu humaniora akan bermuara pada
terbangunnya peradaban, sementara budaya masyarakat yang menyerah atas dominasi
budaya luar, apalagi masyarakatnya melakukan pemujaan (glorifikasi) terhadapnya, akan mengalami
kepunahan peradaban.
Earnst Cassirer, melalui sebuah karya tulis An Essay
on Man, an Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944),
mengingatkan bahwa kebudayaan digerakkan oleh dua kekuatan yang arahnya saling
bertentangan. Kekuatan pertama disebut dengan kekuatan preservatif. Kekuatan ini bergerak melestarikan berbagai
manifestasi budaya (sistem kepercayaan, bahasa, seni, dan sejarah). Kekuatan kedua disebut dengan kekuatan
progresif. Kekuatan ini bergerak mencari dan
menemukan hal-hal baru.
Kekuatan progresif ilmu
pengetahuan seringkali mengundang reorientasi moral yang problematik. Euthanasia
dan cloning adalah dua contoh sederhana. Keduanya dapat dilakukan
secara teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi keduanya sekaligus menghadirkan
perdebatan tentang moralitas. Ilmu dan teknologi dapat juga menghadirkan
senjata pemusnah massal (weapons of mass-destruction), meskipun
semboyan “No more Hiroshima’s!” telah dikumandangkan setelah bom atom
dijatuhkan di kota ini pada tahun 1945.
Kemajuan
ilmu dan teknologi dapat menciptakan kesenjangan bagi di antara mereka yang menguasainya dan mereka yang
tertinggal. Kelompok diskusi yang menamakan dirinya Forum Fairmont
(1995), diketuai oleh Mikhail Gorbachev, beranggotakan wartawan, mantan
kepala negara/pemerintahan, politisi, filsuf, dan usahawan, telah memprediksi
munculnya tatanan masyarakat 20:80 (the 20:80 society). Masyarakat 20:80 akan mendistribusi
populasi masyarakat dunia ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama yang berjumlah 20%
akan
sanggup menggerakkan ekonominya dan berprestasi secara produktif dan kelompok
kedua, sebesar 80%, akan tertinggal dan menjadi kelompok konsumptif. Di Indonesia, konfigurasi ini bisa terjadi
secara nasional, karena proses modernisasi menjadikan tak terhindarinya pemilahan
masyarakat berdasarkan tingkat penguasaan ilmu dan teknologi. Insiden kemiskinan, putus sekolah dan
pengangguran dapat dicerna secara kritis untuk menganalisis apakah konfigurasi ini akan terjadi atau tidak.
Kesenjangan
di masyarakat dapat ditutup melalui analisis yang cermat terhadap
akibat-akibat teknorasi dan teknopoli. Adalah tugas pendidik membawa peserta
didik pada perkenalan dengan nilai-nilai budaya. Perkenalan seperti ini akan
membawa pendidik dan peserta didik pada kemampuan untuk membedakan ciri
teknologi sebagai kekuatan penyeragam yang efektif dan kebudayaan sebagai
kekuatan untuk memanifetasikan keanekaragaman, meskipun ilmu dan teknologi
adalah bagian dari penjelmaan budaya dari masyarakat pengembannya.
*****
|
TEKS PENGANTAR 2
PENDIDIKAN DALAM DINAMIKA
GLOBALISASI
Disadur dari tulisan Anita Lie
Seperti kata Charles Dickens, it’s
the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik
sekaligus masa paling buruk). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dinikmati,
tetapi kemajuan itu beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia.
Mendefinisikan
globalisasi tidaklah mudah karena berbagai parameternya yang kontroversial.
Sebagai kekuatan dominan, globalisasi telah membentuk lingkungan budaya dan
peradaban, baik secara positif maupun negatif. Di balik segala kerancuan
dalam definisi dan perannya, globalisasi telah membawa berbagai dampak besar
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, beberapa tema kunci dalam
teori dan pengalaman globalisasi perlu diurai sebagai latar belakang untuk
memahami dampak globalisasi pada pendidikan dan arah pendidikan selanjutnya.
Digerakkan
oleh kekuatan ekonomi dan dipacu komunikasi dan teknologi, globalisasi
menghubungkan individu dan institusi di seluruh dunia dengan tingkat
keterkaitan dan kecepatan yang luar biasa. Anthony Giddens menjelaskan
globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang
menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal
dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain.
Istilah globalisasi
sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi,
komunikasi dan teknologi di seluruh dunia. Penyebaran ini melibatkan
kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya.
Globalisasi
mempunyai dimensi ekonomis, politis, kultural dan sosial. Ada tiga tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi:
1.
Delokasi dan Lokasi
2.
Invasi Teknologi Informasi
3.
Kebangkitan Korporasi Multinasional dan Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas
1.
1. Delokasi dan Lokasi
Satu
paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam
segala aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi
unsur-unsur dari budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana,
orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon,
dan nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun
bagi anak-anak muda, McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya,
McDonald’s pun melakukan upaya melokasi produknya sesuai budaya setempat. Di Indonesia,
McDonald’s menjual paket nasi. Di Singapura ada paket kiatsu. Di
China, McDonald’s menyediakan sup hangat dan sumpit. Padahal di negara
asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada.
Salah
satu gejala delokasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia,
bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP). Namun di daerah
perkotaan, banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas I SD.
Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan
mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi klaim
ini, sekolah-sekolah ini sampai merekrut guru-guru asing, bukan hanya untuk
mengajar bahasa Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain.
Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia,
Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat.
Belajar
bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu
menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan
tinggi. Kedua, kemampuan bahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor
penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan menarik dalam lapangan
pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan bahasa
Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga, kemampuan bahasa
Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai garis
pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural
yang berbeda di masyarakat.
Bahasa
mewakili sekaligus membangun realitas sosial, memposisikan manusia dan
menciptakan identitas dan relasi. Penggunaan bahasa Inggris (dan akhir-akhir
ini bahasa Mandarin) di sekolah merupakan bagian dari strategi pemasaran
banyak sekolah untuk merebut minat calon siswa dalam era persaingan global
yang sudah melanda dunia pendidikan.
Ada korelasi positif
antara kadar penggunaan bahasa Inggris di sekolah dan biaya sekolah (baik
uang sumbangan masuk ataupun bulanan). Sekolah yang menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar biasanya mengenakan biaya amat tinggi dengan
dalih penggajian guru-guru asing yang lebih tinggi dibandingkan dengan
guru-guru lokal. Lebih menarik lagi, mentalitas pascakolonialisme juga tampak
pada pemilahan asal negara guru-guru asing. Penghargaan (baik secara finansial
maupun nonmaterial) yang diberikan pihak sekolah maupun stakeholders
sekolah (orangtua dan siswa) kepada guru-guru bule (yang berasal dari
negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) cenderung
lebih tinggi daripada yang diberikan kepada guru-guru nonbule (Filipina dan India).
Penggunaan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi
kurikulum asing di Indonesia. Beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar
negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di
Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional,
semi-internasional, atau nasional plus adalah IB (International
Baccalaureate), O dan A Level (Cambridge Examination), VCE (Victoria
Certificate of Education), dan NSW HSC (New South Wales High School
Certificate). Kurikulum IB dikelola oleh IBO (Organisasi Bakalaureat
Internasional/ International Baccalaureate Organization) yang berpusat
di Jenewa, Swiss.
Untuk menjadi sekolah IB, ada proses
pengajuan, penilaian, dan akreditasi yang cukup serius dan mahal. Sekolah
harus mengirim guru-gurunya untuk mengikuti berbagai pelatihan di luar
negeri, membeli buku-buku impor untuk siswa, dan mendatangkan tim penilai
dari IBO untuk meninjau apakah sekolah itu sudah pantas menjadi sekolah IB.
Akhirnya, siswa harus menempuh ujian yang diselenggarakan IBO.
Ada
enam kelompok mata pelajaran dan ujian yang ditawarkan program diploma IB:
kelompok Bahasa Ibu (Bahasa Indonesia), kelompok Bahasa Inggris, kelompok
Individu dan Masyarakat (Misalnya manajemen bisnis, psikologi) kelompok Ilmu Pengetahuan
Eksperimental (misalnya biologi, kimia), kelompok Matematika, dan Kelompok
Seni dan Pilihan (misalnya, seni teater). Siswa harus mengambil satu mata
pelajaran dari masing-masing kelompok dan di akhir jenjang akan diuji dengan
skala 1-7.
Selain
itu, setiap siswa harus mengambil mata pelajaran Teori Pengetahuan (Theory
of Knowledge), menulis esai 4.000
kata, dan melakukan program CAS (Creativity, Action, and
Service/Kreativitas, Aksi, dan Pelayanan), dan bisa mendapatkan tambahan
3 poin. Angka sempurna untuk ujian IB adalah 45. Untuk bisa mendapatkan
diploma, siswa harus mendapatkan minimal 24 poin. Jika tidak, siswa hanya
akan mendapatkan sertifikat. Seperti McDonald’s yang menyediakan paket nasi
untuk menyesuaikan dengan selera lokal, program IB pun menyisakan ruang untuk
muatan lokal berupa mata pelajaran bahasa Indonesia dan program CAS.
2. Invasi Teknologi
Informasi
Era industrialisasi kini berganti dengan era informasi.
Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dikendalikan, dari sisi jumlah,
jenis dan dampaknya. Melalui berbagai media elektronik (televisi, internet
dengan segala macam variannya), anak-anak diserbu oleh informasi secara
dahsyat. Informasi memang bermanfaat dan dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan, tetapi pada saat bersamaan bisa merusak anak karena mengandung
banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak (misalnya kekerasan dan
pornografi).
Maka
dari itu, diperlukan keterampilan hidup dalam mencari, menjaring, memilah,
dan memanfaatkan informasi dengan benar untuk kepentingan pemelajaran.
Praktik-praktik di sekolah berdasarkan pendiktean, penghafalan dan indoktrinasi sudah tidak sesuai zamannya. Kesempatan
menjelajahi kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan di sekolah
menjadi penting.
Penguasaan
komputer dan internet merupakan salah satu keterampilan hidup.
Siswa/mahasiswa perlu dikondisikan dan diberi kesempatan untuk menguasainya. Beberapa
sekolah dan perguruan tinggi memang sudah menyediakan sarana/prasarana
teknologi informasi.
Implikasi
dari inovasi teknologi adalah, batasan antara pendidikan formal, informal,
dan nonformal menjadi kabur. Kini tersedia banyak situs yang menawarkan
program atau modul pemelajaran yang dapat diakses dengan mudah. Pemelajaran
dunia maya --- yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir sekolah --- tidak mengenal
batasan formal dan nonformal.
2.
Kebangkitan Korporasi Multinasional
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Sekarang
ini, pendidikan sudah dikelola menyerupai industri.
Seolah-olah semua orang bercita-cita mendirikan sekolah sebagai tempat untuk
bisnis. Artinya, seseorang atau lembaga membisniskan sekolah karena
mengetahui masyarakat membutuhkan pendidikan, mulai dari tingkat kelompok
bermain hingga ke perguruan tinggi.
Pembiayaan
pendidikan menunjukkan gejala industri. Semakin mahal suatu sekolah, justru
semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau
internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan pemain-pemain
kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri
persekolahan. Sekolah-sekolah nasional di kota-kota besar di Indonesia
dimiliki pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan
multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Seperti
layaknya perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim khusus pemasaran (marketing), meskipun mereka masih sungkan
menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim ini bekerja dengan bendera
humas, tim informasi studi atau biro informasi. Tim ini bekerja melakukan
pembenahan internal, merancang media, dan mengkoordinasi dosen dan wakil
mahasiswa untuk kegiatan promosi.
Kegiatan
promosi dilakukan di dalam dan diluar negeri. Seleksi tes bisa dilakukan di
kota yang dikunjungi. Kini adalah era sekolah berburu konsumen. Setiap tahun
pameran pendidikan mendatangkan tim pameran dari sekolah-sekolah di Australia,
Selandia Baru, Kanada, Singapura, dan China dan berupaya menjaring
siswa/mahasiswa dari Indonesia.
Berkurangnya
tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala
privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan
persaingan antarsekolah semakin seru. Privatisasi pendidikan mengakibatkan pemisahan (segregasi) siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Sekolah yang memiliki
sarana dan prasarana yang baik akan lebih banyak mempunyai keleluasaan untuk
membenahi diri, sementara sekolah yang miskin akan terjerumus dalam
kebangkrutan.
Ke mana Arah pendidikan
Indonesia?
Pandangan
pragmatis mulai muncul di masyarakat. Orientasi pendidikan bukan dimaksudkan
untuk menghasilkan anak yang baik tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
praktis. Anak dimasukkan ke sekolah bergengsi dengan
berbagai atributnya dan dipacu mendapatkan nilai bagus agar kelak bisa
mendapat pekerjaan atau relasi yang bagus. Dalam dinamika globalisasi,
anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar
belakang sosio-ekonomi yang berbeda.
Negara
belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk
mendapatkan pendidikan bermutu, setidaknya sampai saat ini, mulai dari
pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan, ke mana
arah pendidikan di Indonesia?
Pendidikan
dimaksudkan untuk menyiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan
menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa
depan yang selalu berkembang, menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan
diri dan menjadi lokomotif proses demokratisasi dan pembangunan bangsa.
Pendidikan yang menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa
dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai tujuan
dan jalur yang tepat.
Dalam
konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak
memahami eksistensi bangsa dalam kaitan eksistensi bangsa-bangsa lain dan
segala persoalan dunia. Menutup diri dan menghalangi masuknya pengaruh asing
adalah hal yang tidak mungkin. Meskipun demikian, tidak berarti kita
membiarkan diri hanyut dan larut dalam arus dunia dan menerima segala
pengaruh asing. Persis yang diingatkan oleh Mahatma Gandhi, “Saya tidak
ingin rumah saya ditembok pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya
ingin budaya-budaya dari semua tempat berhembus di seputar rumah saya sebebas
mungkin. Tetapi, saya tetap menolak untuk terbawa dan terhempas”.
*****
|
TEKS PENGANTAR 3
ETIKA
Disarikan dari tulisan H. Hardjoeno
Sesudah Perang Dunia
II, umat manusia menghadapi masalah-masalah moral yang ditimbulkan karena
perkembangan cepat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga karena
perubahan sosio-budaya yang cepat pada era globalisasi. Perkembangan
bioteknologi, upaya cloning hewan, dan kemungkinan manusia,
transplantasi organ tubuh manusia, transgenik tanaman dan penggunaan senjata
nuklir, dari sudut pandang produktivitas dapat positif, namun dari segi etika
dapat negatif. Sebagai contoh, dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki pada tahun 1945, Perang Dunia II dapat dihentikan, namun penderitaan
dan kematian ribuan rakyat di kedua wilayah itu dirasakan sampai sekarang.
Etiskah penggunaan senjata nuklir itu?
Di beberapa kota di Indonesia, sejak tahun 1977, dengan
berkedok demokratisasi, terjadi demonstrasi dengan perusakan, bahkan
pembakaran dan penjarahan pertokoan, pasar, pabrik dan lain-lain. Etiskah
anarkisme yang berkedok demokratisasi itu? Marilah dibicarakan etika secara
singkat.
ETIKA
Etika berasal dari kata ethos (Yunani):
kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Etika berarti Moral
(latin): adat kebiasaan. Mos (tunggal): kebiasaan. Mores
(jamak): adat kebiasaan, kesusilaan.
Sistematika Etika juga akan menggunakan sistematika
yang lalu, yaitu dipandang dari aspek ontologi, aspek aksiologi,
dan aspek epistemologi.
Aspek Ontologi
Definisi Etika:
Departemen P dan K:
(1) Nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan;
(2) Kumpulan nilai/azas yang
berkenaan dengan akhlak;
(3) Ilmu tentang yang baik dan
buruk serta kewajiban moral (akhlak).
Bertens:
(1) Sistem nilai dan norma
moral yang menjadi pegangan bagi seorang/kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya;
(2) Kumpulan azas atau nilai moral/kode etik; (3) Ilmu tentang yang baik dan buruk.
Definisi Etika yang
lain:
(1) Ilmu empiris tentang
moralitas (berdasarkan fakta);
(2)
Refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah
laku moral manusia (filsafat praktis);
(3) A Theory of Value:
a conduct of life, moral philosophy (Oxford); (4) Ilmu tentang
kesusilaan dan nilai susila.
Nilai susila yaitu perilaku baik yang banyak berkaitan
dengan peraturan (misalnya, taat pada hukum yang berlaku, tidak KKN, etika
riset, tidak plagiat), taat pada agama, menghargai pandangan hidup dan
menghormati adat kebiasaan yang baik.
Etika berbeda dengan ilmu tentang perilaku manusia (behavioral
sciences). Objek materi etika adalah manusia, sementara objek formalnya adalah kesusilaan.
Dari segi norma masyarakat, etika dapat dibedakan
menjadi:
(1) Etika agama, menyangkut norma
konkrit yang berhubungan dengan kewajiban moral menurut agama yang
dianut, dan memerlukan tafsir hingga terjadi toleransi antarpemeluk agama;
(2) Etika peraturan, menyangkut
norma umum yang berhubungan dengan ketaatan dan nilai keadilan;
(3) Etika situasi, menyangkut norma
khusus yang berhubungan dengan kreativitas dan tanggungjawab serta
kebebasan individu.
Moralitas berarti nilai, sifat moral, keseluruhan azas
tingkah laku yang berkaitan dengan moral baik dan buruk. Amoral tidak
dihubungkan dengan konteks moral dan di luar etika, serta tidak mempunyai
relevansi etis (misalnya, petani tak berbaju bekerja di sawah). Immoral dihubungkan
dengan hal-hal tidak bermoral, tidak berakhlak dan tidak etis.
(misalnya, petani tak bercelana bekerja di sawah).
Etika (ethics) dipersamakan dengan moral (absolut). Misalnya, jangan membunuh, menghormati
peraturan dan tidak melanggarnya. Etiket (ethiquette) dipersamakan
dengan sopan santun (tidak absolut) terhadap orang lain. Misalnya, pergaulan dengan orang tua memerlukan
perilaku baik dan cara berpakaian yang pantas. Sebaliknya, jika seseorang berada
di dalam kamar sendiri, ia tidak harus berpakaian pantas, apalagi jika kamar
tersebut berudara panas.
Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan etis
(azas/nilai yang dianggap baik dan buruk) diterima dalam suatu masyarakat
tanpa disadari dan menjadi bahan refleksi dari penelitian sistematis dan
metodis. Dalam filsafat, etika termasuk cabang paling tua. Dalam pengertian
filsafat, etika disebut sebagai bidang yang mempelajari tindakan manusia.
Etika dibedakan dari semua cabang filsafat karena tidak mempersoalkan keadaan
manusia, melainkan bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam kaitannya
dengan tujuan hidupnya.
Dari sekian banyak teori etika, pandangan William David
Ross (1877-1971) perlu dikedepankan. Baginya, kebenaran merupakan kewajiban prima
facie yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih penting. Ross menyusun
sebuah daftar kewajiban prima facie, yang terdiri atas:
(1)
Kewajiban kesetiaan, misalnya kita harus menepati janji
yang diadakan dengan bebas;
(2)
Kewajiban ganti rugi, misalnya kita harus melunasi
utang moril dan materiil;
(3)
Kewajiban terima kasih, misalnya kita harus berterima
kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita;
(4)
Kewajiban keadilan, misalnya kita harus membagikan
hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan;
(5)
Kewajiban berbuat baik, misalnya kita harus membantu
orang lain yang membutuhkan bantuan;
(6) Kewajiban mengembangkan
diri, misalnya kita harus mengembangkan bakat di bidang keutamaan,
intelejensia, dan sebagainya; dan
(7) Kewajiban untuk tidak
merugikan, misalnya kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang
lain. Kewajiban disebut terakhir adalah satu-satunya kewajiban yang
dirumuskan oleh Ross secara negasi.
Etika dapat diklasifikasi berdasarkan;
(1) Etika Deskriptif, yang
bertugas mendeskripsikan tingkah laku moral dalam adat kebiasaan, mengurai
apa yang baik dan buruk, serta menjelaskan apa yang diperbolehkan dan apa
yang dilarang;
(2) Etika Normatif, yang
bertugas menilai perilaku atas norma benar dan tidak benar, apa yang
seharusnya, dan apa yang tidak seharusnya. Etika Normatif memiliki dua
turunan, yaitu Etika Umum dan Etika Khusus. Etika Umum bertugas mengkaji
norma-norma etis dan menjelaskan mengapa manusia harus diikat oleh etika
dengan berbagai syaratnya. Etika Khusus lebih berhubungan dengan penerapan
prinsip-prinsip etis faktual;
(3) Meta Etika, berposisi lebih
tinggi dari perilaku etis karena bertugas menganalisis dan mengkritik sebuah
tindakan. Misalnya, apakah transplantasi, penjualan organ transplantasi, dan
menjadi donor transplantasi dapat dinilai baik atau buruk.
Aspek Aksiologi
Etika dipelajari dan diajarkan untuk menciptakan sopan
santun dalam kehidupan bermasyarakat. Etika dipandang penting untuk
dilembagakan karena beberapa hal;
(1) Masyarakat terbangun atas
dasar moral yang pluralistik;
(2) Adanya proses transformasi
sosial dan perubahan;
(3) Adanya ideologi baru/moral
baru;
(4) Munculnya teknologi baru;
dan
(5) Perlunya interpretasi
terhadap aturan.
Aspek Epistemologi
Dari sisi epistemologi, etika dirujuk pada dua
pertanyaan;
Pertanyaan pertama adalah Why. Why dipakai untuk mencari
perilaku baik yang diyakini akan mewujudkan kebudayaan dan peradaban. Why
juga dibangun untuk menjelaskan dampak perilaku buruk terhadap kebudayaan dan
peradaban.
Pertanyaan kedua adalah How,
yang bertugas mencari cara menjaga dan merawat perilaku baik sesuai dengan
adat kebiasaan yang kemudian dipakai untuk kepentingan kebudayaan dan
peradaban.
*****
|
TEKS PENGANTAR 4
PERSAUDARAAN DAN PENGASUHAN,
ETIKA MILENIUM BARU
Disari ulang dari tulisan Alois A.
Nugroho
Milenium Baru datang
setetes demi setetes, bukan untuk ditakuti dan ditaklukkan, bukan untuk conquering.
Kosa kata komunitas manusia sudah terlanjur terpenjara dan sudah terlalu lama
dihegemoni oleh kegiatan merebut dan menaklukkan. Olehnya, kesulitan pertama
yang dihadapi oleh manusia dalam merumuskan etika milenium baru, justru pada
kesulitan semantik. Sedemikian sulitnya, seorang mahaguru emeritus bernama
Charles Birch mengandaikannya sebagai kesulitan dalam “menyimpan anggur
baru dalam wadah anggur tua”. Manusia memerlukan wadah baru untuk
menerima etika baru. Olehnya, manusia memerlukan kosa kata baru untuk
merumuskan paradigma baru, mengganti paradigma conquest menjadi
paradigma nurturance, menukar etika penguasaan (the ethics of
dominion) menjadi etika pengasuhan (the ethics of stewardship).
Sebagai
suatu fenomena milenium baru, peralihan dari etika penguasaan ke etika
pengasuhan telah digarisbawahi oleh pakar masa depan John Naisbitt dalam buku
Paradoks Global. Bagi Naisbitt, akan muncul etika yang bersifat
global dalam abad ke-21, yang terdorong oleh globalisasi pasar dan
perkembangan teknologi informasi. Keizo Yamaji, seorang eksekutif Canon,
malah menganggap milenium baru sebagai era “megamoralitas”. Bagi Yamaji,
etika milenium baru akan melengkapi nilai-nilai yang diperjuangkan oleh
revolusi Perancis. Jika etika kapitalisme mengutamakan kebebasan (liberti),
dan jika etika sosialisme memuliakan kesamaan (egaliti), maka etika milenium
baru akan melengkapinya dengan “fraterniti” atau “persaudaraan”. Inilah semacam jalan ketiga
yang oleh tradisi Jepang dirumuskan sebagai kyosei, dan oleh Indonesia
dirumuskan sebagai gotong royong, rumusan yang sesungguhnya telah tersedia
pada awal-awal kemerdekaan.
Apakah
perempuan ikut dalam brotherhood, dalam kyosei, dan dalam gotong
royong? Di sinilah letak kesulitan semantiknya. Bahkan, etikawan
lingkungan yang moderat seperti Robin Attfied menganggap bahwa “etika
persaudaraan” itu sebagai etika yang antroposentris, etika yang mengunggulkan
kepentingan manusia dan melihat alam hanya sebagai entitas yang bernilai
instrumental. Oleh karenanya, Attfied mendukung etika stewardship,
yang mungkin lebih baik kalau diterjemahkan sebagai etika “pengasuhan”.
Semangat
etika pengasuhan adalah altruisme dan bukan egoisme, semangat mendahulukan
kepentingan primer pihak lain dan bukan kebutuhan sekunder diri sendiri.
Etika pengasuhan memandang bahwa manusia tidak berada di puncak hirarki alam.
Alam dititipkan untuk dirawat dan diasuh, sehingga dapat diwariskan ke
generasi berikut, dalam keadaan lebih baik atau sekurang-kurangnya tidak
lebih buruk.
Para etikawan perempuan
mengartikulasikan kebajikan pengasuhan itu ke dalam apa yang disebut etika
kepedulian (the ethics of care). Judith White menguraikan bahwa etika
kepedulian itu pun mula-mula bertumbuh dalam konteks hubungan domestik atau
hubungan antarmanusia dalam hidup berumah tangga. Masih menurut Judith White,
etika kepedulian itu kini merambah ke wilayah etika terapan lain, utamanya
etika bisnis dan etika lingkungan.
Dalam
artikelnya, “Feminist Ethics and Workplace Values” (1992), MC Raugust
--- seorang etikawan perempuan --- mengajukan tujuh karakteristik etika
kepedulian itu;
Pertama,
prioritas utama dari etika kepedulian ialah hubungan kepedulian (caring
relationship), hubungan silih asih, silih asah, silih asuh dengan orang
lain, bukan usaha mengepalkan tinju untuk merebut dan mempertahankan hak-hak
individu.
Kedua,
hasil terpenting dari perilaku etis ialah kenyataan bahwa seorang
tertentu dalam situasinya yang konkret dapat menerima dan memberikan
kepedulian itu.
Ketiga,
yang digarisbawahi ialah interdependensi dan bukan individualisme.
Kenyataan bahwa kita harus saling memberi dan menerima harus lebih diutamakan
dibandingkan hak seseorang untuk menerima kebaikan orang lain.
Keempat,
fokusnya ialah “orang lain” yang konkret, bukan “orang lain” dalam
pernyataan abstrak, yakni orang lain yang tidak berpribadi dan tidak
berwajah.
Keenam,
hubungan antarmanusia dilihat sebagai proses sirkuler bukan linier,
sebagai proses langgeng bukannya berjangka pendek, sebagai proses mengamini
dan bukannya mengubah.
Ketujuh,
kebajikan (virtue) dijunjung tinggi lebih dari kewajiban untuk
berlaku adil (justice). Dalam etika kepedulian, eksploitasi dan
tindakan merugikan orang lain wajib dihindari.
Judith
White sendiri menambahkan, bahwa pada etika kepedulian itu, perasaan sama
sahnya dengan pikiran, intuisi berharga sama dengan intelektualitas. Tetapi,
perasaan di sini bukanlah perasaan yang berhenti menjadi melankoli, melainkan
perasaan peduli yang diikuti dengan tindakan peduli. Seorang ibu yang
menyayangi anaknya akan mengekspresikan rasa sayangnya ke dalam
tindakan-tindakan. Dan tindakan-tindakan peduli itu memerlukan kompetensi.
Etika pengasuhan atau etika kepedulian tanpa dibarengi kompetensi malah dapat
menimbulkan kerugian (do harm) pada orang lain yang dipedulikan dan
diasuh. Tanpa pengasuhan dan tanpa kompetensi, manusia akan terjerumus ke
dalam “perang semua melawan semua” (the war of every man against every
man).
*****
|
TEKS PENGANTAR 5
THE “BOSSLESS SOCIETY”
Disadur ulang dari Orasi Ilmiah
Makaminan Makagiansar
di Universitas
Hasanuddin, 1997
Laboratoria, perpustakaan (yang
tidak mengikuti jam kantor) selalu dipenuhi pengunjung sampai larut malam.
Bukankah ini kultur akademik yang wajar dan patut? Situasi laboratoria adalah
kultur komunitas kampus “tanpa boss”. Tanpa kehadiran “boss” sekalipun,
civitas akademia bergerak mencari pengetahuan dan mengasah keterampilan. “Bossless
society” adalah ciri dari lembaga perguruan tinggi yang berhasil dan
berprestise. Komunitas dan civitas akademia seperti ini akan mengembangkan
kultur saling menghormati dengan kriteria utama “keunggulan sebagai ilmuan”. Tetapi jangan salah paham. Jangan menganggap bahwa kultur
dan komunitas “tanpa boss” sama artinya dengan “tidak memerlukan dan dengan
demikian tidak perlu ada pemimpin”. Seorang “boss” yang berkarakter pemimpin
malah diperlukan karena pada suatu waktu dan suatu tempat, keputusan perlu
diambil.
Dalam konsep “bossless
society”, sang “boss” yang pemimpin adalah sosok kreatif dan produktif
dalam berperan sebagai pengayom, sebagai mitra, dan sebagai fasilitator bagi
semua orang yang berada di bawah pengasuhannya, agar semua orang yang berada
di bawah kepemimpinannya dapat mengembangkan secara produktif talenta yang
melekat atau yang masih terpendam dalam dirinya.
Prinsip
“bossless society” sangat penting bagi kelompok sosial dimana
pengetahuan dan ilmu menjadi andalan pertama. Bobot keilmuan, sudah dapat
dipastikan, akan dapat dimunculkan di lembaga-lembaga yang memiliki kultur “bossless
society”. Kultur seperti ini sama sekali tidak mengembangkan sikap
otoriter. Sang pemimpin justru merupakan “prima inter pares”
atau “yang pertama antara yang pertama” (the first among the first). Semakin
renggang hubungan antarperorangan dan semakin kaku proses pengambilan
keputusan, serta semakin rendahnya prioritas yang diletakkan pada kepentingan
pemelajaran, riset, dan nilai-nilai
akademik, semakin besar kemungkinan bahwa lembaga perguruan tinggi itu tidak
berada pada posisi tinggi.
Indikator-indikator
keperilakuan (behavioral) adalah penting selain indikator-indikator
kualitatif dan kuantitatif, dan ketiganya pun seharusnya dihubungkan secara
sangat erat. Dalam berbagai tulisan tentang perguruan tinggi, indikator
keperilakuan sering diabaikan. Tetapi, justru indikator-indikator terakhir
inilah --- yang berakar pada persepsi dan nilai --- yang ikut menentukan
apakah suatu perguruan tinggi itu unggul atau tidak sama sekali.
|
TEKS PENGANTAR 6
KULTUR AKADEMIK,
BERSAHABAT DALAM
PERBEDAAN
Disadur dari berbagai sumber
Adalah Plato dan Aristotle siempunya nama besar.
Keduanya adalah pemuka pemikir dalam sejarah akademi dan kemudian menjadi inspirasi
dalam bangunan peradaban dan keadaban universitas-universitas di dunia.
Keduanya adalah perintis kultur pemelajaran yang dikenang hingga kini.
Plato dikenang dengan
padepokan Ecademos Plato (biasa juga ditulis Academos Plato)
yang menandai kultur berdiskusi dan kultur berdialog pada awalnya dan
Aristotle diingat melalui perguruan Lyceum Aristotle yang memulai
kultur kuliah dan kultur meneliti pada mulanya. Kultur berdiskusi, berdialog,
menyajikan kuliah, dan menyelenggarakan penelitian dengan demikian menjadi
kultur awal dan dasar lalu menjadi utama bagi kekuatan penggerak (driving force) perjalanan universitas
hingga ke masa kini.
Karakteristik tempat
dan makna simbolik dari dua perguruan inipun berbeda. Ecademos adalah taman
dalam pengertian sebenarnya dan Lyceum adalah bangunan yang berwujud gymnasium
dalam pengertian sesungguhnya. Kalau mau berpikir simbolik, taman adalah
tempat yang “menyenangkan” dan gymnasium adalah bangunan yang “berstruktur”. Ilmu
pengetahuan memang menyenangkan sekaligus berstruktur, bukan sebaliknya.
Plato diperkirakan lahir
sekitar 21 Mei 428 atau 427 BC. Nama sebenarnya adalah Aristocles. Plato
adalah nama pemberian dari salah satu gurunya, karena ia mempunyai ciri
bernafas ketika sedang berbicara. Keluarga Plato terhubung dengan Codrus,
raja Atena terakhir yang legendaris. Plato kemudian dikenang sebagai bapak
filsafat idealisme. Ia meninggal pada tahun 347 BC.
Aritotle sendiri lahir di
Stagiros, Macedonia, pada tahun 384 BC. Ayahnya seorang dokter kerajaan
Amyntas Macedonia, tetapi meninggal ketika Aristotle masih berusia belia.
Pada saat itu, ilmu kedokteran diturunkan dari ayah ke anak. Kematian sang
ayah membuat arah kehidupan Aristotle berubah secara drastis. Aristotle
tumbuh dan dididik melalui perwalian dan pada saat berusia 17 tahun ia
dikirim ke pusat kehidupan artistik dan kehidupan intelektual, yaitu di
Atena. Di sana, Aristotle berguru di Ecademos Plato selama 20 tahun,
sebagai murid sekaligus sebagai guru. Ia diperkirakan meninggal di sekitar
July-Oktober 322 BC. Hingga kini ia dikenang sebagai pemikir utama empirisme,
yang menghubungkan filsafat dan sains.
Plato dan Aristotle adalah dua
sosok pemikir yang bersahabat dalam perbedaan yang mendasar. Keduanya terhubung
sebagai guru-murid, sebagai pendahulu-pengikut, sebagai senior-yunior yang kemudian
menciptakan ketenaran bagi keduanya dan menyimpan pengaruh di berbagai ranah
dan dimensi ilmu pengetahuan; filsafat, matematika, logika, bahasa, fisika,
etika, kedokteran, biologi, politik, psikologi dan lain-lain.
Kualitas keduanya tidak
terletak pada keragaan tetapi malah pada kedalaman dan keterampilan berpikir
serta penguasaan dan wawasan. Satu lagi, hubungan keduanya sering ditandai
oleh kultur saling-mengeritik secara santun dan bersahabat. “Berhentilah
berfilsafat tentang gigi kuda. Tangkap saja seekor kuda. Buka mulutnya. Lihat
dan hitunglah berapa gigi kuda”, begitu sindiran sang murid kepada sang mahaguru
yang idealis.
Sedemikian dalam perbedaan
dan persahabatan mereka, seorang perupa bernama Raphael, mengabadikannya ke
dalam lukisan berjudul Sekolah Atena (The Schools of Athens). Di
lukisan ini, Plato dan Aristotle berjalan beriring, akrab tak terpisah meski dengan
kepercayaan yang berbeda secara mendasar. Plato menunjuk langit untuk mempertegas keyakinannya
pada kebenaran tertinggi (ultimate truth) sementara Aristotle menunjuk
bumi, menandai kepercayaannya pada pengalaman empirik. Keduanya adalah
manusia multi dimensional.
Tidak
jauh dari tradisi Sekolah Atena, kultur akademik dewasa ini mengalami
pengembangan dan kontekstualisasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
universitas, diletakkan pada kebutuhan lokal, regional, dan internasional,
dikembangkan berdasarkan misi dan tujuan disiplin ilmu yang telah
didefinisikan oleh para scholar, mencakup metodologi dan kerangka
teoretik yang dipercayainya, dan menyangkut batasan-batasan eksplisit dan
implisit di dalam memilih ranah penelitian dan di dalam pertukaran akademik
dengan kelompok-kelompok lain.
Dengan kata lain,
kultur akademik dapat juga dipahami dalam hubungannya dengan faktor-faktor
sosial, politik, dan ideologi yang membentuk prestasi akademik di dalam satu
disiplin ilmu. Kultur akademik dengan demikian mencakup kultur disiplin ilmu di
dalam satu komunitas atau masyarakat tertentu yang membangun dan
mengembangkan hidupnya di dalam satu sistem.
Kultur
akademik juga ditandai oleh pengembangan pemelajaran fleksibel yang berpusat
pada mahasiswa. Fleksibilitas dalam pemelajaran memungkinkan mahasiswa
belajar apa saja, kapan saja, dan di mana saja, mencakup kemampuan mengakses
informasi, mengkomunikasikannya dengan yang lain, merumuskan tujuan dengan
cara mempersonalisasi dan mengejar minat pengetahuan, serta mengembangkan kemampuan
mengekspresikan dirinya dan tidak lagi menggantungkan diri pada pemelajaran
sebelumnya.
Meskipun dosen bukan
lagi figur sentral dalam memandu “peta jalan” (pave the ways) bagi
mahasiswa, ujung dari peta itu adalah suatu tempat yang layak disadari dan
dihormati. Kultur akademik menyadari tujuan itu dan menghormatinya melalui
pengukuhan gelar dan pemberian ijazah.
*****
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar