Selasa, 22 Juli 2014



KASANGGAL NIRIGI
TUJUAN PEMELAJARAN UMUM


Pada akhir proses pemelajaran melalui  modul “Budaya, Etika, dan Kultur Universitas”, para peserta (mahasiswa baru Universitas Hasanuddin 2010) sudah akan dapat:

  1. mendeskripsikan julukan manusia sebagai animal educandum dan animal educandus yang mendasari konsep “pendidikan sepanjang hayat” (long life education) dan dampaknya terhadap ikhtiar pendidikan dan prakarsa pengembangan kebudayaan; memahami perbedaan antara dampak didik penyekolahan, pendidikan, dan pemelajaran sosial;

  1. mengenali empat tema kunci --- delokasi dan lokasi, invasi teknologi, kebangkitan korporasi multinasional, privatisasi dan pembentukan pasar bebas --- dalam wacana dan pengalaman globalisasi; mengurai contoh-contoh gejala wacana dan pengalaman globalisasi; mengurai interaksi antara elemen lokal dan elemen global dalam dinamika pendidikan;

  1. menyadari fungsi etika bagi upaya membangun kultur pemelajaran di universitas; menyadari munculnya keperluan akan etika milenium baru  sebagai wacana akademik mutakhir akibat globalisasi;

  1. mengenali semangat dan ciri-ciri kultur komunitas universitas dan prinsip-prinsip dasar etika yang memandu interaksi keilmuan











OUTLINE MATERI MODUL BUDAYA,  ETIKA, DAN KULTUR UNIVERSITAS


No.

Topik

Rujukan
Teks Pengantar


Kegiatan

Evaluasi
Tindak Lanjut

Durasi


1.

Budaya

1.      Pembudayaan Pendidikan
2.      Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi


Ceramah dan Diskusi/Tanya-jawab



Kerja Mandiri

30 menit

2.

Etika

1.      Etika
2.      Persaudaraan dan Pengasuhan, Etika Milenium Baru


Ceramah dan Diskusi/Tanya-jawab

Kerja Mandiri

30 menit

3.

Kultur Universitas

1.      The “Bossless Society”

2.      Kultur Akademik, Bersahabat dalam Perbedaan


Ceramah dan Diskusi/Tanya-jawab




Kerja Mandiri

30 menit













TOPIK: Budaya, Etika, dan Kultur Universitas

PERTEMUAN: I

TUJUAN PEMELAJARAN UMUM:

            Budaya:
(1)   mendeskripsikan julukan manusia sebagai animal educandum dan animal educandus
(2)   membedakan dampak didik penyekolahan, pendidikan, dan pemelajaran sosial
(3)   mengenali empat tema kunci --- delokasi dan lokasi, invasi teknologi, kebangkitan korporasi multinasional, privatisasi dan pembentukan pasar bebas --- dalam wacana dan pengalaman globalisasi;
(4)   mengurai contoh-contoh gejala dan interaksi antara elemen lokal dengan elemen global dalam dinamika pendidikan.

Etika:
(1)   menyadari fungsi etika bagi upaya membangun kultur pemelajaran di universitas;
(2)   menyadari munculnya keperluan akan etika milenium baru sebagai wacana akademik mutakhir akibat globalisasi;

Kultur Universitas:
(1)   mengenali semangat dan ciri-ciri kultur komunitas universitas;
(2)   mengenali prinsip-prinsip dasar etika yang memandu interaksi keilmuan

EVALUASI TINDAK LANJUT:
            Peserta diminta memilih satu topik di bawah ini dan menuliskannya ke makalah sederhana (2-3 halaman) secara mandiri:

(1)   Mengapa manusia mendapat julukan animal educandum dan animal educandus
(2)   Perbedaan dampak didik sebagai hasil penyekolahan, pendidikan, dan pemelajaran sosial
(3)   Interaksi elemen lokalitas budaya Sulawesi Selatan dan budaya globalisasi
(4)   Mengapa etika penting di Universitas
(5)   Apa ciri-ciri kultur universitas








TEKS PENGANTAR 1
PEMBUDAYAAN PENDIDIKAN

Disari ulang dari Tulisan Fuad Hasan, 2004

            Pendidikan jelas lebih luas dari penyekolahan. Pendidikan melekat pada kebutuhan manusia. Selain sebagai animal educandum, yaitu makhluk yang dididik, manusia sekaligus adalah animal educandus, yaitu makhluk yang mendidik. Kedua julukan ini sama artinya bahwa manusia adalah makhluk yang terlibat dalam proses pendidikan, terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Kedua julukan inilah yang dijadikan rujukan oleh Organisasi Pendidikan Dunia (Unesco) untuk mencanangkan konsep “pendidikan sepanjang hayat” (life long education), yang seharusnya berlangsung dari buaian ke liang lahat (from the cradle to the grave).

            Penyekolahan hanya salah satu bentuk upaya pendidikan. Penyelenggaraannya tidak terbebas dari pengaruh luar. Pembiasaan dan peneladanan, baik yang dibentuk oleh orang tuanya maupun orang lain, yang dimulai dari masa prasekolah, akan memantapkan pola perilaku ketika sang anak telah dewasa dalam berbagai situasi dan interaksi. Peneladanan di akademi militer misalnya akan berbeda dengan peneladanan di lingkungan pesantren.

            Peneladanan tidak selalu melalui institusi pendidikan. Peneladanan seringkali berlangsung melalui pemelajaran sosial (social learning). Peneladanan positif di lingkungan universitas dan akademi, dalam kenyataannya, tidak selalu berhubungan secara simetris dengan pemelajaran sosial. Perilaku menyimpang yang diberitakan lewat media, misalnya, akan menjadi pemelajaran sosial” bagi anak-anak. Kesaksian anak-anak terhadap kekerasan di wilayah-wilayah konflik juga akan membekas pada perilaku dan sikap mereka. Lalu, kekerasan pun menjadi kultur dan sekaligus dikultuskan. Permainan dan mainan anak-anak di wilayah-wilayah seperti ini cenderung bermatra kekerasan. Anak-anak berkecenderungan mengunggulkan nilai-nilai untuk “menang”. Kekuatan, kekuasaan dan keberanian dipakai oleh anak-anak untuk memunculkan rasa takut pada lawan (fear provoking). Kecenderungan ini ditemukan di berbagai wilayah konflik, antara lain: di wilayah Balkan, di beberapa negara Afrika, dan di beberapa daerah di Indonesia. Peneladanan seperti ini dianggap sebagai peneladanan negatif.

            Dampak didik pemelajaran sosial, tentu saja, tidak selalu berfungsi negatif. Fungsi positif pemelajaran sosial juga dikenali di berbagai ranah pemelajaran. Anak didik dan juga pendidik dapat mengenali model peran dan sosok tokoh yang sering dirujuk untuk keperluan identifikasi diri. Pengaruh tokoh seringkali dijadikan citra untuk pembentukan kepribadian, bukan hanya pada perilaku dan sikap, tetapi juga pada gagasan dan wawasan. Pengaruh ini tidak selalu dalam bentuk in concreto (dalam bentuk konkret), tetapi lambat laun menjulang dalam bentuk in abstracto (dalam bentuk abstrak). Dampak didik positif menjadikan mahasiswa mampu melampaui keterikatan pada guru besarnya sebagai tokoh identifikasi. Mahasiswa mampu menciptakan peluang untuk mengukuhkan dirinya sebagai homo academicus (makhluk akademis).

            Animal educandum dan animal educandus mengandung ikhtiar pembudayaan, yaitu upaya yang melatari sejarah kemanusiaan sebagai sejarah peradaban. Prakarsa pendidikan tidak hanya mengalihkan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skills), tetapi juga mengalihkan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms). Masyarakat di mana pun pasti berkepentingan memelihara keterjalinan antara ikhtiar pendidikan dan prakarsa pengembangan kebudayaannya. 

Tugas pendidikan secara luas adalah mengalihkan seluruh spektrum kebudayaan --- sistem kepercayaan, bahasa, seni, sejarah, dan ilmu --- dari satu generasi ke generasi lain. Orientasi pada nilai-nilai budaya akan mengukuhkan manusia sebagai anggota masyarakat dengan peradabannya yang khas. Meskipun demikian, proses sejarah telah mengenali jatuh bangunnya peradaban. Peneguhan nilai budaya dan norma sosial melalui perkenalan dan pengenalan atas sumber-sumber belajar yang dewasa ini digolongkan ke dalam ilmu-ilmu humaniora akan bermuara pada terbangunnya peradaban, sementara budaya masyarakat yang menyerah atas dominasi budaya luar, apalagi masyarakatnya melakukan pemujaan (glorifikasi) terhadapnya, akan mengalami kepunahan peradaban.

            Earnst Cassirer, melalui sebuah karya tulis An Essay on Man, an Introduction to a Philosophy of Human Culture (1944), mengingatkan bahwa kebudayaan digerakkan oleh dua kekuatan yang arahnya saling bertentangan. Kekuatan pertama disebut dengan kekuatan preservatif. Kekuatan ini bergerak melestarikan berbagai manifestasi budaya (sistem kepercayaan, bahasa, seni, dan sejarah). Kekuatan kedua disebut dengan kekuatan progresif. Kekuatan ini bergerak mencari dan menemukan hal-hal baru.

Kekuatan progresif ilmu pengetahuan seringkali mengundang reorientasi moral yang problematik. Euthanasia dan cloning adalah dua contoh sederhana. Keduanya dapat dilakukan secara teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi keduanya sekaligus menghadirkan perdebatan tentang moralitas. Ilmu dan teknologi dapat juga menghadirkan senjata pemusnah massal (weapons of mass-destruction), meskipun semboyan “No more Hiroshima’s!” telah dikumandangkan setelah bom atom dijatuhkan di kota ini pada tahun 1945.

            Kemajuan ilmu dan teknologi dapat menciptakan kesenjangan bagi di antara mereka yang menguasainya dan mereka yang tertinggal. Kelompok diskusi yang menamakan dirinya Forum Fairmont (1995), diketuai oleh Mikhail Gorbachev, beranggotakan wartawan, mantan kepala negara/pemerintahan, politisi, filsuf, dan usahawan, telah memprediksi munculnya tatanan masyarakat 20:80 (the 20:80 society). Masyarakat 20:80 akan mendistribusi populasi masyarakat dunia ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama yang berjumlah 20% akan sanggup menggerakkan ekonominya dan berprestasi secara produktif dan kelompok kedua, sebesar 80%, akan tertinggal dan menjadi kelompok konsumptif. Di Indonesia, konfigurasi ini bisa terjadi secara nasional, karena proses modernisasi menjadikan tak terhindarinya pemilahan masyarakat berdasarkan tingkat penguasaan ilmu dan teknologi. Insiden kemiskinan, putus sekolah dan pengangguran dapat dicerna secara kritis untuk menganalisis apakah konfigurasi ini akan terjadi atau tidak.

            Kesenjangan di masyarakat dapat ditutup melalui analisis yang cermat terhadap akibat-akibat teknorasi dan teknopoli. Adalah tugas pendidik membawa peserta didik pada perkenalan dengan nilai-nilai budaya. Perkenalan seperti ini akan membawa pendidik dan peserta didik pada kemampuan untuk membedakan ciri teknologi sebagai kekuatan penyeragam yang efektif dan kebudayaan sebagai kekuatan untuk memanifetasikan keanekaragaman, meskipun ilmu dan teknologi adalah bagian dari penjelmaan budaya dari masyarakat pengembannya.
           
*****





















TEKS PENGANTAR 2
PENDIDIKAN DALAM DINAMIKA GLOBALISASI

Disadur dari tulisan Anita Lie

            Seperti kata Charles Dickens, it’s the best of times and the worst of times (ini adalah masa paling baik sekaligus masa paling buruk). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dinikmati, tetapi kemajuan itu beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia.

            Mendefinisikan globalisasi tidaklah mudah karena berbagai parameternya yang kontroversial. Sebagai kekuatan dominan, globalisasi telah membentuk lingkungan budaya dan peradaban, baik secara positif maupun negatif. Di balik segala kerancuan dalam definisi dan perannya, globalisasi telah membawa berbagai dampak besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, beberapa tema kunci dalam teori dan pengalaman globalisasi perlu diurai sebagai latar belakang untuk memahami dampak globalisasi pada pendidikan dan arah pendidikan selanjutnya.

            Digerakkan oleh kekuatan ekonomi dan dipacu komunikasi dan teknologi, globalisasi menghubungkan individu dan institusi di seluruh dunia dengan tingkat keterkaitan dan kecepatan yang luar biasa. Anthony Giddens menjelaskan globalisasi sebagai intensifikasi relasi sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian-kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain.

Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi dan teknologi di seluruh dunia. Penyebaran ini melibatkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya.  

            Globalisasi mempunyai dimensi ekonomis, politis, kultural dan sosial. Ada tiga tema kunci dalam wacana dan pengalaman globalisasi:

1.      Delokasi dan Lokasi
2.      Invasi Teknologi Informasi
3.      Kebangkitan Korporasi Multinasional dan Privatisasi dan Pembentukan Pasar Bebas

1.                                                1. Delokasi dan Lokasi
            Satu paradoks dalam proses globalisasi adalah transformasi budaya lokal dalam segala aspek, sebagai akibat interaksi dengan budaya asing dan adopsi unsur-unsur dari budaya asing menjadi bagian budaya lokal. Contoh sederhana, orang Indonesia usia 50 tahun ke atas yang terbiasa makan nasi pecel, rawon, dan nasi uduk, burger McDonald’s terasa amat asing dan tidak nikmat. Namun bagi anak-anak muda, McDonald’s sudah menjadi makanan favorit. Sebaliknya, McDonald’s pun melakukan upaya melokasi produknya sesuai budaya setempat. Di Indonesia, McDonald’s menjual paket nasi. Di Singapura ada paket kiatsu. Di China, McDonald’s menyediakan sup hangat dan sumpit. Padahal di negara asalnya, tambahan-tambahan itu tidak ada.

            Salah satu gejala delokasi dalam pendidikan adalah penggunaan bahasa. Di Indonesia, bahasa Inggris resmi diajarkan dalam kurikulum, mulai dari kelas 1 sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Namun di daerah perkotaan, banyak sekolah mengajarkan bahasa Inggris sejak kelas I SD. Bahkan, taman kanak-kanak (TK) dan kelompok bermain tidak mau ketinggalan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa sekolah “unggulan” mengklaim penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Untuk memenuhi klaim ini, sekolah-sekolah ini sampai merekrut guru-guru asing, bukan hanya untuk mengajar bahasa Inggris tetapi juga untuk berbagai mata pelajaran lain. Guru-guru asing ini biasanya didatangkan dari Amerika Serikat, Australia, Singapura, Filipina, India, dan negara-negara di Eropa Barat.

            Belajar bahasa Inggris di SD dan menengah memenuhi tiga tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di perguruan tinggi. Kedua, kemampuan bahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan menarik dalam lapangan pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu persyaratan utama. Ketiga, kemampuan bahasa Inggris juga digunakan sebagai penanda sosial yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial di antara kelas-kelas ekonomis dan kultural yang berbeda di masyarakat.

            Bahasa mewakili sekaligus membangun realitas sosial, memposisikan manusia dan menciptakan identitas dan relasi. Penggunaan bahasa Inggris (dan akhir-akhir ini bahasa Mandarin) di sekolah merupakan bagian dari strategi pemasaran banyak sekolah untuk merebut minat calon siswa dalam era persaingan global yang sudah melanda dunia pendidikan.

Ada korelasi positif antara kadar penggunaan bahasa Inggris di sekolah dan biaya sekolah (baik uang sumbangan masuk ataupun bulanan). Sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar biasanya mengenakan biaya amat tinggi dengan dalih penggajian guru-guru asing yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru lokal. Lebih menarik lagi, mentalitas pascakolonialisme juga tampak pada pemilahan asal negara guru-guru asing. Penghargaan (baik secara finansial maupun nonmaterial) yang diberikan pihak sekolah maupun stakeholders sekolah (orangtua dan siswa) kepada guru-guru bule (yang berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia) cenderung lebih tinggi daripada yang diberikan kepada guru-guru nonbule (Filipina dan India).

            Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga berkaitan erat dengan adopsi kurikulum asing di Indonesia. Beberapa produk kurikulum dan ujian dari luar negeri yang sudah (atau pernah dijajaki untuk) dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia yang mengklaim diri sebagai sekolah internasional, semi-internasional, atau nasional plus adalah IB (International Baccalaureate), O dan A Level (Cambridge Examination), VCE (Victoria Certificate of Education), dan NSW HSC (New South Wales High School Certificate). Kurikulum IB dikelola oleh IBO (Organisasi Bakalaureat Internasional/ International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Jenewa, Swiss.

 Untuk menjadi sekolah IB, ada proses pengajuan, penilaian, dan akreditasi yang cukup serius dan mahal. Sekolah harus mengirim guru-gurunya untuk mengikuti berbagai pelatihan di luar negeri, membeli buku-buku impor untuk siswa, dan mendatangkan tim penilai dari IBO untuk meninjau apakah sekolah itu sudah pantas menjadi sekolah IB. Akhirnya, siswa harus menempuh ujian yang diselenggarakan IBO.

            Ada enam kelompok mata pelajaran dan ujian yang ditawarkan program diploma IB: kelompok Bahasa Ibu (Bahasa Indonesia), kelompok Bahasa Inggris, kelompok Individu dan Masyarakat (Misalnya manajemen bisnis, psikologi) kelompok Ilmu Pengetahuan Eksperimental (misalnya biologi, kimia), kelompok Matematika, dan Kelompok Seni dan Pilihan (misalnya, seni teater). Siswa harus mengambil satu mata pelajaran dari masing-masing kelompok dan di akhir jenjang akan diuji dengan skala 1-7.
            Selain itu, setiap siswa harus mengambil mata pelajaran Teori Pengetahuan (Theory of Knowledge),  menulis esai 4.000 kata, dan melakukan program CAS (Creativity, Action, and Service/Kreativitas, Aksi, dan Pelayanan), dan bisa mendapatkan tambahan 3 poin. Angka sempurna untuk ujian IB adalah 45. Untuk bisa mendapatkan diploma, siswa harus mendapatkan minimal 24 poin. Jika tidak, siswa hanya akan mendapatkan sertifikat. Seperti McDonald’s yang menyediakan paket nasi untuk menyesuaikan dengan selera lokal, program IB pun menyisakan ruang untuk muatan lokal berupa mata pelajaran bahasa Indonesia dan program CAS.

2. Invasi Teknologi Informasi
            Era industrialisasi kini berganti dengan era informasi. Laju informasi yang beredar sudah tidak bisa dikendalikan, dari sisi jumlah, jenis dan dampaknya. Melalui berbagai media elektronik (televisi, internet dengan segala macam variannya), anak-anak diserbu oleh informasi secara dahsyat. Informasi memang bermanfaat dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi pada saat bersamaan bisa merusak anak karena mengandung banyak unsur yang tidak sesuai untuk konsumsi anak (misalnya kekerasan dan pornografi).

            Maka dari itu, diperlukan keterampilan hidup dalam mencari, menjaring, memilah, dan memanfaatkan informasi dengan benar untuk kepentingan pemelajaran. Praktik-praktik di sekolah berdasarkan pendiktean, penghafalan dan indoktrinasi sudah tidak sesuai zamannya. Kesempatan menjelajahi kehidupan melalui proses pencarian dan penemuan di sekolah menjadi penting.

            Penguasaan komputer dan internet merupakan salah satu keterampilan hidup. Siswa/mahasiswa perlu dikondisikan dan diberi kesempatan untuk menguasainya. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi memang sudah menyediakan sarana/prasarana teknologi informasi.

            Implikasi dari inovasi teknologi adalah, batasan antara pendidikan formal, informal, dan nonformal menjadi kabur. Kini tersedia banyak situs yang menawarkan program atau modul pemelajaran yang dapat diakses dengan mudah. Pemelajaran dunia maya --- yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir sekolah --- tidak mengenal batasan formal dan nonformal.

2.   Kebangkitan Korporasi Multinasional
            Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Sekarang ini, pendidikan sudah dikelola menyerupai industri. Seolah-olah semua orang bercita-cita mendirikan sekolah sebagai tempat untuk bisnis. Artinya, seseorang atau lembaga membisniskan sekolah karena mengetahui masyarakat membutuhkan pendidikan, mulai dari tingkat kelompok bermain hingga ke perguruan tinggi.

            Pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industri. Semakin mahal suatu sekolah, justru semakin laku. Semakin sekolah dikatakan plus, unggulan, atau berbau internasional, orang semakin tergiur untuk memasukinya. Bahkan pemain-pemain kalangan bisnis mengalihkan perhatian dan investasi mereka pada industri persekolahan. Sekolah-sekolah nasional di kota-kota besar di Indonesia dimiliki pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.

            Seperti layaknya perusahaan, banyak lembaga pendidikan mempunyai tim khusus pemasaran (marketing), meskipun mereka masih sungkan menggunakan istilah marketing. Umumnya, tim ini bekerja dengan bendera humas, tim informasi studi atau biro informasi. Tim ini bekerja melakukan pembenahan internal, merancang media, dan mengkoordinasi dosen dan wakil mahasiswa untuk kegiatan promosi.

            Kegiatan promosi dilakukan di dalam dan diluar negeri. Seleksi tes bisa dilakukan di kota yang dikunjungi. Kini adalah era sekolah berburu konsumen. Setiap tahun pameran pendidikan mendatangkan tim pameran dari sekolah-sekolah di Australia, Selandia Baru, Kanada, Singapura, dan China dan berupaya menjaring siswa/mahasiswa dari Indonesia.

            Berkurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antarsekolah semakin seru. Privatisasi pendidikan mengakibatkan pemisahan (segregasi) siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang baik akan lebih banyak mempunyai keleluasaan untuk membenahi diri, sementara sekolah yang miskin akan terjerumus dalam kebangkrutan.

Ke mana Arah pendidikan Indonesia?
            Pandangan pragmatis mulai muncul di masyarakat. Orientasi pendidikan bukan dimaksudkan untuk menghasilkan anak yang baik tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan praktis. Anak dimasukkan ke sekolah bergengsi dengan berbagai atributnya dan dipacu mendapatkan nilai bagus agar kelak bisa mendapat pekerjaan atau relasi yang bagus. Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda.

            Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan bermutu, setidaknya sampai saat ini, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan, ke mana arah pendidikan di Indonesia?

            Pendidikan dimaksudkan untuk menyiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang, menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan yang menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai tujuan dan jalur yang tepat.

            Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak memahami eksistensi bangsa dalam kaitan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Menutup diri dan menghalangi masuknya pengaruh asing adalah hal yang tidak mungkin. Meskipun demikian, tidak berarti kita membiarkan diri hanyut dan larut dalam arus dunia dan menerima segala pengaruh asing. Persis yang diingatkan oleh Mahatma Gandhi, “Saya tidak ingin rumah saya ditembok pada semua bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berhembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi, saya tetap menolak untuk terbawa dan terhempas”.

*****

  



TEKS PENGANTAR 3
ETIKA

Disarikan dari tulisan H. Hardjoeno

            Sesudah Perang Dunia II, umat manusia menghadapi masalah-masalah moral yang ditimbulkan karena perkembangan cepat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan juga karena perubahan sosio-budaya yang cepat pada era globalisasi. Perkembangan bioteknologi, upaya cloning hewan, dan kemungkinan manusia, transplantasi organ tubuh manusia, transgenik tanaman dan penggunaan senjata nuklir, dari sudut pandang produktivitas dapat positif, namun dari segi etika dapat negatif. Sebagai contoh, dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, Perang Dunia II dapat dihentikan, namun penderitaan dan kematian ribuan rakyat di kedua wilayah itu dirasakan sampai sekarang. Etiskah penggunaan senjata nuklir itu?

            Di beberapa kota di Indonesia, sejak tahun 1977, dengan berkedok demokratisasi, terjadi demonstrasi dengan perusakan, bahkan pembakaran dan penjarahan pertokoan, pasar, pabrik dan lain-lain. Etiskah anarkisme yang berkedok demokratisasi itu? Marilah dibicarakan etika secara singkat.

ETIKA
            Etika berasal dari kata ethos (Yunani): kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Etika berarti Moral (latin): adat kebiasaan. Mos (tunggal): kebiasaan. Mores (jamak): adat kebiasaan, kesusilaan.
            Sistematika Etika juga akan menggunakan sistematika yang lalu, yaitu dipandang dari aspek ontologi, aspek aksiologi, dan aspek epistemologi.

Aspek Ontologi
            Definisi Etika:

Departemen P dan K:
(1) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan;
(2) Kumpulan nilai/azas yang berkenaan dengan akhlak;
(3) Ilmu tentang yang baik dan buruk serta kewajiban moral (akhlak).

Bertens:
(1) Sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seorang/kelompok dalam mengatur tingkah lakunya;
(2) Kumpulan azas atau nilai moral/kode etik; (3) Ilmu tentang yang baik dan buruk.


Definisi Etika yang lain:

(1)   Ilmu empiris tentang moralitas (berdasarkan fakta);

(2)   Refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku moral manusia (filsafat praktis);

(3) A Theory of Value: a conduct of life, moral philosophy (Oxford); (4) Ilmu tentang kesusilaan dan nilai susila.

            Nilai susila yaitu perilaku baik yang banyak berkaitan dengan peraturan (misalnya, taat pada hukum yang berlaku, tidak KKN, etika riset, tidak plagiat), taat pada agama, menghargai pandangan hidup dan menghormati adat kebiasaan yang baik.

            Etika berbeda dengan ilmu tentang perilaku manusia (behavioral sciences). Objek materi etika adalah manusia, sementara objek formalnya adalah kesusilaan.

            Dari segi norma masyarakat, etika dapat dibedakan menjadi:

(1) Etika agama, menyangkut norma konkrit yang berhubungan dengan kewajiban moral menurut agama yang dianut, dan memerlukan tafsir hingga terjadi toleransi antarpemeluk agama;

(2) Etika peraturan, menyangkut norma umum yang berhubungan dengan ketaatan dan nilai keadilan;

(3) Etika situasi, menyangkut norma khusus yang berhubungan dengan kreativitas dan tanggungjawab serta kebebasan individu.

            Moralitas berarti nilai, sifat moral, keseluruhan azas tingkah laku yang berkaitan dengan moral baik dan buruk. Amoral tidak dihubungkan dengan konteks moral dan di luar etika, serta tidak mempunyai relevansi etis (misalnya, petani tak berbaju bekerja di sawah). Immoral dihubungkan dengan hal-hal tidak bermoral, tidak berakhlak dan tidak etis. (misalnya, petani tak bercelana bekerja di sawah).

            Etika (ethics) dipersamakan dengan moral (absolut). Misalnya, jangan membunuh, menghormati peraturan dan tidak melanggarnya. Etiket (ethiquette) dipersamakan dengan sopan santun (tidak absolut) terhadap orang lain. Misalnya,  pergaulan dengan orang tua memerlukan perilaku baik dan cara berpakaian yang pantas. Sebaliknya, jika seseorang berada di dalam kamar sendiri, ia tidak harus berpakaian pantas, apalagi jika kamar tersebut berudara panas.

            Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan etis (azas/nilai yang dianggap baik dan buruk) diterima dalam suatu masyarakat tanpa disadari dan menjadi bahan refleksi dari penelitian sistematis dan metodis. Dalam filsafat, etika termasuk cabang paling tua. Dalam pengertian filsafat, etika disebut sebagai bidang yang mempelajari tindakan manusia. Etika dibedakan dari semua cabang filsafat karena tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam kaitannya dengan tujuan hidupnya.

            Dari sekian banyak teori etika, pandangan William David Ross (1877-1971) perlu dikedepankan. Baginya, kebenaran merupakan kewajiban prima facie yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih penting. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban prima facie, yang terdiri atas:

(1)   Kewajiban kesetiaan, misalnya kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas;

(2)   Kewajiban ganti rugi, misalnya kita harus melunasi utang moril dan materiil;

(3)   Kewajiban terima kasih, misalnya kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita;

(4)   Kewajiban keadilan, misalnya kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan;

(5)   Kewajiban berbuat baik, misalnya kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan;

(6) Kewajiban mengembangkan diri, misalnya kita harus mengembangkan bakat di bidang keutamaan, intelejensia, dan sebagainya; dan

(7) Kewajiban untuk tidak merugikan, misalnya kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Kewajiban disebut terakhir adalah satu-satunya kewajiban yang dirumuskan oleh Ross secara negasi.

            Etika dapat diklasifikasi berdasarkan;

(1) Etika Deskriptif, yang bertugas mendeskripsikan tingkah laku moral dalam adat kebiasaan, mengurai apa yang baik dan buruk, serta menjelaskan apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang;

(2) Etika Normatif, yang bertugas menilai perilaku atas norma benar dan tidak benar, apa yang seharusnya, dan apa yang tidak seharusnya. Etika Normatif memiliki dua turunan, yaitu Etika Umum dan Etika Khusus. Etika Umum bertugas mengkaji norma-norma etis dan menjelaskan mengapa manusia harus diikat oleh etika dengan berbagai syaratnya. Etika Khusus lebih berhubungan dengan penerapan prinsip-prinsip etis faktual;

(3) Meta Etika, berposisi lebih tinggi dari perilaku etis karena bertugas menganalisis dan mengkritik sebuah tindakan. Misalnya, apakah transplantasi, penjualan organ transplantasi, dan menjadi donor transplantasi dapat dinilai baik atau buruk.

Aspek Aksiologi
            Etika dipelajari dan diajarkan untuk menciptakan sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat. Etika dipandang penting untuk dilembagakan karena beberapa hal;

(1) Masyarakat terbangun atas dasar moral yang pluralistik;

(2) Adanya proses transformasi sosial dan perubahan;

(3) Adanya ideologi baru/moral baru;

(4) Munculnya teknologi baru; dan

(5) Perlunya interpretasi terhadap aturan.

Aspek Epistemologi
            Dari sisi epistemologi, etika dirujuk pada dua pertanyaan;

Pertanyaan pertama adalah Why. Why dipakai untuk mencari perilaku baik yang diyakini akan mewujudkan kebudayaan dan peradaban. Why juga dibangun untuk menjelaskan dampak perilaku buruk terhadap kebudayaan dan peradaban.

Pertanyaan kedua adalah How, yang bertugas mencari cara menjaga dan merawat perilaku baik sesuai dengan adat kebiasaan yang kemudian dipakai untuk kepentingan kebudayaan dan peradaban. 

*****







TEKS PENGANTAR 4
PERSAUDARAAN DAN PENGASUHAN,
ETIKA MILENIUM BARU

Disari ulang dari tulisan Alois A. Nugroho

            Milenium Baru datang setetes demi setetes, bukan untuk ditakuti dan ditaklukkan, bukan untuk conquering. Kosa kata komunitas manusia sudah terlanjur terpenjara dan sudah terlalu lama dihegemoni oleh kegiatan merebut dan menaklukkan. Olehnya, kesulitan pertama yang dihadapi oleh manusia dalam merumuskan etika milenium baru, justru pada kesulitan semantik. Sedemikian sulitnya, seorang mahaguru emeritus bernama Charles Birch mengandaikannya sebagai kesulitan dalam “menyimpan anggur baru dalam wadah anggur tua”. Manusia memerlukan wadah baru untuk menerima etika baru. Olehnya, manusia memerlukan kosa kata baru untuk merumuskan paradigma baru, mengganti paradigma conquest menjadi paradigma nurturance, menukar etika penguasaan (the ethics of dominion) menjadi etika pengasuhan (the ethics of  stewardship).

            Sebagai suatu fenomena milenium baru, peralihan dari etika penguasaan ke etika pengasuhan telah digarisbawahi oleh pakar masa depan John Naisbitt dalam buku Paradoks Global. Bagi Naisbitt, akan muncul etika yang bersifat global dalam abad ke-21, yang terdorong oleh globalisasi pasar dan perkembangan teknologi informasi. Keizo Yamaji, seorang eksekutif Canon, malah menganggap milenium baru sebagai era “megamoralitas”. Bagi Yamaji, etika milenium baru akan melengkapi nilai-nilai yang diperjuangkan oleh revolusi Perancis. Jika etika kapitalisme mengutamakan kebebasan (liberti), dan jika etika sosialisme memuliakan kesamaan (egaliti), maka etika milenium baru akan melengkapinya dengan “fraterniti” atau “persaudaraan”. Inilah semacam jalan ketiga yang oleh tradisi Jepang dirumuskan sebagai kyosei, dan oleh Indonesia dirumuskan sebagai gotong royong, rumusan yang sesungguhnya telah tersedia pada awal-awal kemerdekaan.

            Apakah perempuan ikut dalam brotherhood, dalam kyosei, dan dalam gotong royong? Di sinilah letak kesulitan semantiknya. Bahkan, etikawan lingkungan yang moderat seperti Robin Attfied menganggap bahwa “etika persaudaraan” itu sebagai etika yang antroposentris, etika yang mengunggulkan kepentingan manusia dan melihat alam hanya sebagai entitas yang bernilai instrumental. Oleh karenanya, Attfied mendukung etika stewardship, yang mungkin lebih baik kalau diterjemahkan sebagai etika “pengasuhan”.

            Semangat etika pengasuhan adalah altruisme dan bukan egoisme, semangat mendahulukan kepentingan primer pihak lain dan bukan kebutuhan sekunder diri sendiri. Etika pengasuhan memandang bahwa manusia tidak berada di puncak hirarki alam. Alam dititipkan untuk dirawat dan diasuh, sehingga dapat diwariskan ke generasi berikut, dalam keadaan lebih baik atau sekurang-kurangnya tidak lebih buruk.

            Para etikawan perempuan mengartikulasikan kebajikan pengasuhan itu ke dalam apa yang disebut etika kepedulian (the ethics of care). Judith White menguraikan bahwa etika kepedulian itu pun mula-mula bertumbuh dalam konteks hubungan domestik atau hubungan antarmanusia dalam hidup berumah tangga. Masih menurut Judith White, etika kepedulian itu kini merambah ke wilayah etika terapan lain, utamanya etika bisnis dan etika lingkungan.

            Dalam artikelnya, “Feminist Ethics and Workplace Values” (1992), MC Raugust --- seorang etikawan perempuan --- mengajukan tujuh karakteristik etika kepedulian itu;

            Pertama, prioritas utama dari etika kepedulian ialah hubungan kepedulian (caring relationship), hubungan silih asih, silih asah, silih asuh dengan orang lain, bukan usaha mengepalkan tinju untuk merebut dan mempertahankan hak-hak individu.

            Kedua, hasil terpenting dari perilaku etis ialah kenyataan bahwa seorang tertentu dalam situasinya yang konkret dapat menerima dan memberikan kepedulian itu.

            Ketiga, yang digarisbawahi ialah interdependensi dan bukan individualisme. Kenyataan bahwa kita harus saling memberi dan menerima harus lebih diutamakan dibandingkan hak seseorang untuk menerima kebaikan orang lain.

            Keempat, fokusnya ialah “orang lain” yang konkret, bukan “orang lain” dalam pernyataan abstrak, yakni orang lain yang tidak berpribadi dan tidak berwajah.

            Keenam, hubungan antarmanusia dilihat sebagai proses sirkuler bukan linier, sebagai proses langgeng bukannya berjangka pendek, sebagai proses mengamini dan bukannya mengubah.

            Ketujuh, kebajikan (virtue) dijunjung tinggi lebih dari kewajiban untuk berlaku adil (justice). Dalam etika kepedulian, eksploitasi dan tindakan merugikan orang lain wajib dihindari.

            Judith White sendiri menambahkan, bahwa pada etika kepedulian itu, perasaan sama sahnya dengan pikiran, intuisi berharga sama dengan intelektualitas. Tetapi, perasaan di sini bukanlah perasaan yang berhenti menjadi melankoli, melainkan perasaan peduli yang diikuti dengan tindakan peduli. Seorang ibu yang menyayangi anaknya akan mengekspresikan rasa sayangnya ke dalam tindakan-tindakan. Dan tindakan-tindakan peduli itu memerlukan kompetensi. Etika pengasuhan atau etika kepedulian tanpa dibarengi kompetensi malah dapat menimbulkan kerugian (do harm) pada orang lain yang dipedulikan dan diasuh. Tanpa pengasuhan dan tanpa kompetensi, manusia akan terjerumus ke dalam “perang semua melawan semua” (the war of every man against every man).

*****
           



































TEKS PENGANTAR 5
THE “BOSSLESS SOCIETY”

Disadur ulang dari Orasi Ilmiah Makaminan Makagiansar
di Universitas Hasanuddin, 1997
           
            Laboratoria, perpustakaan (yang tidak mengikuti jam kantor) selalu dipenuhi pengunjung sampai larut malam. Bukankah ini kultur akademik yang wajar dan patut? Situasi laboratoria adalah kultur komunitas kampus “tanpa boss”. Tanpa kehadiran “boss” sekalipun, civitas akademia bergerak mencari pengetahuan dan mengasah keterampilan. “Bossless society” adalah ciri dari lembaga perguruan tinggi yang berhasil dan berprestise. Komunitas dan civitas akademia seperti ini akan mengembangkan kultur saling menghormati dengan kriteria utama “keunggulan sebagai ilmuan”. Tetapi jangan salah paham. Jangan menganggap bahwa kultur dan komunitas “tanpa boss” sama artinya dengan “tidak memerlukan dan dengan demikian tidak perlu ada pemimpin”. Seorang “boss” yang berkarakter pemimpin malah diperlukan karena pada suatu waktu dan suatu tempat, keputusan perlu diambil.

Dalam konsep “bossless society”, sang “boss” yang pemimpin adalah sosok kreatif dan produktif dalam berperan sebagai pengayom, sebagai mitra, dan sebagai fasilitator bagi semua orang yang berada di bawah pengasuhannya, agar semua orang yang berada di bawah kepemimpinannya dapat mengembangkan secara produktif talenta yang melekat atau yang masih terpendam dalam dirinya.

            Prinsip “bossless society” sangat penting bagi kelompok sosial dimana pengetahuan dan ilmu menjadi andalan pertama. Bobot keilmuan, sudah dapat dipastikan, akan dapat dimunculkan di lembaga-lembaga yang memiliki kultur “bossless society”. Kultur seperti ini sama sekali tidak mengembangkan sikap otoriter. Sang pemimpin justru merupakan “prima inter pares” atau “yang pertama antara yang pertama” (the first among the first). Semakin renggang hubungan antarperorangan dan semakin kaku proses pengambilan keputusan, serta semakin rendahnya prioritas yang diletakkan pada kepentingan pemelajaran, riset,  dan nilai-nilai akademik, semakin besar kemungkinan bahwa lembaga perguruan tinggi itu tidak berada pada posisi tinggi.

            Indikator-indikator keperilakuan (behavioral) adalah penting selain indikator-indikator kualitatif dan kuantitatif, dan ketiganya pun seharusnya dihubungkan secara sangat erat. Dalam berbagai tulisan tentang perguruan tinggi, indikator keperilakuan sering diabaikan. Tetapi, justru indikator-indikator terakhir inilah --- yang berakar pada persepsi dan nilai --- yang ikut menentukan apakah suatu perguruan tinggi itu unggul atau tidak sama sekali.

TEKS PENGANTAR 6
KULTUR AKADEMIK,
BERSAHABAT DALAM PERBEDAAN

Disadur dari berbagai sumber
           
            Adalah Plato dan Aristotle siempunya nama besar. Keduanya adalah pemuka pemikir dalam sejarah akademi dan kemudian menjadi inspirasi dalam bangunan peradaban dan keadaban universitas-universitas di dunia. Keduanya adalah perintis kultur pemelajaran yang dikenang hingga kini.

Plato dikenang dengan padepokan Ecademos Plato (biasa juga ditulis Academos Plato) yang menandai kultur berdiskusi dan kultur berdialog pada awalnya dan Aristotle diingat melalui perguruan Lyceum Aristotle yang memulai kultur kuliah dan kultur meneliti pada mulanya. Kultur berdiskusi, berdialog, menyajikan kuliah, dan menyelenggarakan penelitian dengan demikian menjadi kultur awal dan dasar lalu menjadi utama bagi kekuatan penggerak  (driving force) perjalanan universitas hingga ke masa kini.

Karakteristik tempat dan makna simbolik dari dua perguruan inipun berbeda. Ecademos adalah taman dalam pengertian sebenarnya dan Lyceum adalah bangunan yang berwujud gymnasium dalam pengertian sesungguhnya. Kalau mau berpikir simbolik, taman adalah tempat yang “menyenangkan” dan gymnasium adalah bangunan yang “berstruktur”. Ilmu pengetahuan memang menyenangkan sekaligus berstruktur, bukan sebaliknya.

            Plato diperkirakan lahir sekitar 21 Mei 428 atau 427 BC. Nama sebenarnya adalah Aristocles. Plato adalah nama pemberian dari salah satu gurunya, karena ia mempunyai ciri bernafas ketika sedang berbicara. Keluarga Plato terhubung dengan Codrus, raja Atena terakhir yang legendaris. Plato kemudian dikenang sebagai bapak filsafat idealisme. Ia meninggal pada tahun 347 BC. 

Aritotle sendiri lahir di Stagiros, Macedonia, pada tahun 384 BC. Ayahnya seorang dokter kerajaan Amyntas Macedonia, tetapi meninggal ketika Aristotle masih berusia belia. Pada saat itu, ilmu kedokteran diturunkan dari ayah ke anak. Kematian sang ayah membuat arah kehidupan Aristotle berubah secara drastis. Aristotle tumbuh dan dididik melalui perwalian dan pada saat berusia 17 tahun ia dikirim ke pusat kehidupan artistik dan kehidupan intelektual, yaitu di Atena. Di sana, Aristotle berguru di Ecademos Plato selama 20 tahun, sebagai murid sekaligus sebagai guru. Ia diperkirakan meninggal di sekitar July-Oktober 322 BC. Hingga kini ia dikenang sebagai pemikir utama empirisme, yang menghubungkan filsafat dan sains.

            Plato dan Aristotle adalah dua sosok pemikir yang bersahabat dalam perbedaan yang mendasar. Keduanya terhubung sebagai guru-murid, sebagai pendahulu-pengikut, sebagai senior-yunior yang kemudian menciptakan ketenaran bagi keduanya dan menyimpan pengaruh di berbagai ranah dan dimensi ilmu pengetahuan; filsafat, matematika, logika, bahasa, fisika, etika, kedokteran, biologi, politik, psikologi dan lain-lain.

Kualitas keduanya tidak terletak pada keragaan tetapi malah pada kedalaman dan keterampilan berpikir serta penguasaan dan wawasan. Satu lagi, hubungan keduanya sering ditandai oleh kultur saling-mengeritik secara santun dan bersahabat. “Berhentilah berfilsafat tentang gigi kuda. Tangkap saja seekor kuda. Buka mulutnya. Lihat dan hitunglah berapa gigi kuda”, begitu sindiran sang murid kepada sang mahaguru yang idealis.

Sedemikian dalam perbedaan dan persahabatan mereka, seorang perupa bernama Raphael, mengabadikannya ke dalam lukisan berjudul Sekolah Atena (The Schools of Athens). Di lukisan ini, Plato dan Aristotle berjalan beriring, akrab tak terpisah meski dengan kepercayaan yang berbeda secara mendasar. Plato menunjuk langit untuk mempertegas keyakinannya pada kebenaran tertinggi (ultimate truth) sementara Aristotle menunjuk bumi, menandai kepercayaannya pada pengalaman empirik. Keduanya adalah manusia multi dimensional.

            Tidak jauh dari tradisi Sekolah Atena, kultur akademik dewasa ini mengalami pengembangan dan kontekstualisasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan universitas, diletakkan pada kebutuhan lokal, regional, dan internasional, dikembangkan berdasarkan misi dan tujuan disiplin ilmu yang telah didefinisikan oleh para scholar, mencakup metodologi dan kerangka teoretik yang dipercayainya, dan  menyangkut batasan-batasan eksplisit dan implisit di dalam memilih ranah penelitian dan di dalam pertukaran akademik dengan kelompok-kelompok lain.

Dengan kata lain, kultur akademik dapat juga dipahami dalam hubungannya dengan faktor-faktor sosial, politik, dan ideologi yang membentuk prestasi akademik di dalam satu disiplin ilmu. Kultur akademik dengan demikian mencakup kultur disiplin ilmu di dalam satu komunitas atau masyarakat tertentu yang membangun dan mengembangkan hidupnya di dalam satu sistem.

            Kultur akademik juga ditandai oleh pengembangan pemelajaran fleksibel yang berpusat pada mahasiswa. Fleksibilitas dalam pemelajaran memungkinkan mahasiswa belajar apa saja, kapan saja, dan di mana saja, mencakup kemampuan mengakses informasi, mengkomunikasikannya dengan yang lain, merumuskan tujuan dengan cara mempersonalisasi dan mengejar minat pengetahuan, serta mengembangkan kemampuan mengekspresikan dirinya dan tidak lagi menggantungkan diri pada pemelajaran sebelumnya.
Meskipun dosen bukan lagi figur sentral dalam memandu “peta jalan” (pave the ways) bagi mahasiswa, ujung dari peta itu adalah suatu tempat yang layak disadari dan dihormati. Kultur akademik menyadari tujuan itu dan menghormatinya melalui pengukuhan gelar dan pemberian ijazah.

*****

Tidak ada komentar: